Rabu, 17 April 2013

Bank Dunia Turunkan Proyeksi Pertumbuhan RI, China

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik tetap stabil tahun ini. Namun pertumbuhan beberapa negara, termasuk Indonesia, diperkirakan sedikit melemah.

Menurut laporan terbarunya mengenai perkembangan ekonomi regional, seperti dikutip kantor berita Reuters, Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Sempat diperkirakan tumbuh 6,3 persen, Bank Dunia meralatnya menjadi 6,2 persen, atau melemah 0,1 persen.

Penurunan ini, lanjut laporan Bank Dunia, dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan investasi. Situasi itu sudah diperkirakan sebelumnya. Namun, sejumlah tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Malaysia, diperkirakan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.

Selain Indonesia, Bank Dunia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China, yang merupakan motor utama pertumbuhan Asia Pasifik. Pertumbuhan ekonomi di Negeri Tembok Besar itu tahun ini juga diperkirakan melemah 0,1 persen, dari 8,4 persen menjadi 8,3 persen. Pelemahan ini terkait upaya pemerintah dalam merestrukturisasi ekonominya.

Secara umum, Asia Timur dan Pasifik kembali menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi global. Tingkat pertumbuhannya pada 2012 mencapai 7,5 persen, melebihi kawasan-kawasan lain. Ini didorong menguatnya tingkat permintaan domestik masing-masing negara.

Namun, Bank Dunia memperingatkan perekonomian negara-negara di Asia Pasifik bisa berisiko terlalu panas (overheating) saat ekonomi global mulai pulih dari resesi. Bila permintaan global terus bertambah dan permintaan domestik juga menguat, ekonomi beberapa negara bisa mengalami kelebihan kapasitas produksi saat ini, saat kesenjangan output dan input mulai terasa di beberapa negara.

"Sebagian besar negara di Asia Timur yang tengah berkembang sebenarnya sudah cukup siap mengantisipasi gejolak eksternal, namun langkah-langkah untuk menggenjot permintaan kini sudah kontra produktif dan ini bisa menambah tekanan inflasi," kata Kepala Ekonom Bank Dunia kawasan Asia Timur dan Pasifik, Bert Hofman, dalam keterangannya kepada VIVAnews.

"Rebound yang kuat dalam aliran modal masuk ke kawasan ini terkait kebijakan pengendalian moneter di AS, Uni Eropa, dan Jepang, bisa memperkuat risiko kredit dan harga aset," lanjut Hofman.  (umi)

sumber: vivanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar