Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik tetap stabil
tahun ini. Namun pertumbuhan beberapa negara, termasuk Indonesia,
diperkirakan sedikit melemah.
Menurut laporan terbarunya mengenai perkembangan ekonomi regional, seperti dikutip kantor berita Reuters,
Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini.
Sempat diperkirakan tumbuh 6,3 persen, Bank Dunia meralatnya menjadi
6,2 persen, atau melemah 0,1 persen.
Penurunan ini, lanjut
laporan Bank Dunia, dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan investasi.
Situasi itu sudah diperkirakan sebelumnya. Namun, sejumlah tetangga
Indonesia, seperti Thailand dan Malaysia, diperkirakan mengalami
pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Selain Indonesia, Bank
Dunia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China, yang merupakan
motor utama pertumbuhan Asia Pasifik. Pertumbuhan ekonomi di Negeri
Tembok Besar itu tahun ini juga diperkirakan melemah 0,1 persen, dari
8,4 persen menjadi 8,3 persen. Pelemahan ini terkait upaya pemerintah
dalam merestrukturisasi ekonominya.
Secara umum, Asia Timur dan
Pasifik kembali menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi global.
Tingkat pertumbuhannya pada 2012 mencapai 7,5 persen, melebihi
kawasan-kawasan lain. Ini didorong menguatnya tingkat permintaan
domestik masing-masing negara.
Namun, Bank Dunia memperingatkan
perekonomian negara-negara di Asia Pasifik bisa berisiko terlalu panas
(overheating) saat ekonomi global mulai pulih dari resesi. Bila
permintaan global terus bertambah dan permintaan domestik juga menguat,
ekonomi beberapa negara bisa mengalami kelebihan kapasitas produksi saat
ini, saat kesenjangan output dan input mulai terasa di beberapa negara.
"Sebagian besar negara di Asia Timur yang tengah berkembang
sebenarnya sudah cukup siap mengantisipasi gejolak eksternal, namun
langkah-langkah untuk menggenjot permintaan kini sudah kontra produktif
dan ini bisa menambah tekanan inflasi," kata Kepala Ekonom Bank Dunia
kawasan Asia Timur dan Pasifik, Bert Hofman, dalam keterangannya kepada VIVAnews.
"Rebound
yang kuat dalam aliran modal masuk ke kawasan ini terkait kebijakan
pengendalian moneter di AS, Uni Eropa, dan Jepang, bisa memperkuat
risiko kredit dan harga aset," lanjut Hofman. (umi)
sumber: vivanews
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar